Aku Tidak Berjanji

Aku tidak menjanjikan hidup tanpa badai dan guntur, tidak berjanji untuk langit yang selalu biru. Karena aku pun seringkali tampias oleh hujan yang bahkan masih urung menderas tersebab aku terlambat berteduh. Tersebab payung yang seringkali lupa kusertakan.

Aku tidak pernah berjanji bahwa ragaku kelak senantiasa terasa inderamu, tidak menjanjikan genggaman jemari di setiap waktu meski tak pernah berkurang rasa cinta padamu. 

Aku enggan menjanjikan hidangan dan teh hangat yang tak pernah alpa di meja, dengan rasa yang tepat luar biasa. Juga, aku enggan berjanji bahwa hanya akan ada sunggingan senyuman di muka, bukan tetesan air di sudut mata. Aku hanya perempuan biasa -seperti yang lainnya.

Aku tidak berjanji untuk selalu menjadi kuat hingga akhir hayat, pun tak akan pernah terus setegar karang yang tetap kokoh digilas ombak lautan. 

Sungguh, aku tidak berjanji.

Aku hanya bisa menjanjikan ragaku menjadi tempat berbagi peluk dan telingaku untuk berbagi suara guntur. Aku hanya mampu berjanji untuk menjelma teman bagimu berdansa di tengah-tengah badai.

Aku hanya menjanjikan bahwa hatiku tidak akan pergi kemana-mana sejauh apapun jarak tiada mungkin dipangkas di antara kita. Meski aku hanya bisa tersenyum dari jauh.

Aku hanya sanggup berjanji untuk berusaha menyajikan nasi dan lauknya yang hangat untukmu di tengah-tengah waktu yang ada kalanya sulit sekali dikompromi.

Aku memang tidak akan selalu kuat, karena kelak aku membutuhkanmu. Pundakmu, lenganmu, tempat kelak aku rebah mencari damai dan perlindungan. Karena kamu kelak menjadi definisi rumahku yang baru.

Iya, aku hanya sanggup menjanjikan itu kepadamu.


Boalemo, 23 Maret 2017

13 thoughts on “Aku Tidak Berjanji

Leave a comment